Kerbau Dan Mesin Traktor

Kerbau Dan Mesin Traktor - Kerbau yang di pagi hari bulan kemarau berasap punggungnya akhirnya pelan-pelan hilang. Dari hari ke hari kerbau berkurang seperti dimakan oleh padang-padang rumput yang pernah memberinya makanan. Sawah-sawah yang dulu dibajak dengan kerbau telah berubah menjadi arena pacuan kerbau peminum solar: traktor. Dulu kerbau yang kelelahan membajak sering berak di sawah dan menjadi pupuk penyubur tanaman padi. Kini traktor yang tak pernah lelah juga sering kencing dengan minyak berwarna hitam mengurangi kesuburan tanah.
Memang tenaga kerbau kalah oleh tenaga pesaingnya, namun ada seni dalam bertani menggunakan tenaga mereka. Petani, anak petani yang gembala dan kerbau adalah sebuah keluarga dengan seluruh macam seninya. Tetapi traktor tak punya perasaan, tak bisa diajak bercanda sebagaimana anak gembala biasa berbicara dengan kerbaunya yang masing-masing memiliki namanya sendiri-sendiri.
Kerbau yang membutuhkan rumput-rumput segar telah menghilang. Padang rumput merana seperti kehilangan sahabat sejati. Untuk menghiburnya, mereka dicangkul dan dikirim ke pekarangan rumah orang-orang kaya di kota. Lalu padang rumput berubah menjadi rumah tanpa penghuni. Anak-anak dengan daya ciptanya yang tinggi menyulap padang rumput yang tersisa menjadi lapangan bola. Bermain bola adalah hiburan dan pengisi waktu saat mereka yang semakin tidak tahu mau mengerjakan apa sepulang dari sawah.
Puang Japeng menjual puluhan kerbaunya dan membeli sebuah traktor yang tak bisa ia operasikan. Ia harus menyewa seorang lain untuk itu. Mulailah gaji-menggaji di Kampiri. Sebelumnya, orang-orang yang memiliki kerbau, meskipun hanya sepasang, bisa membantu tetangganya membajak sawah tanpa perlu digaji. Karena membajak sawah mulai memberlakukan sistem gaji maka menabur benih, menanam, menyiangi dan memanen padi pun kemudian memakai sistem sama. Kampung kecil yang dihuni oleh orang dari rumpun keluarga sama itu menjelma asing. Orang-orangnya yang bukan orang lain, sesama mereka saja, telah menjadi asing satu sama lain.
Tak pernah lagi istri Puang Japeng membawa sebaskom besar kue-kue tradisonal sepertionde-onde atau doko-doko utti ke sawah untuk orang-orang yang membantu suaminya menanam padi. Selain karena menanam padi dilakukan dengan gaji, istri Puang Japeng juga sudah menjadi seorang haji yang dihormati. Sisa hasil penjualan kerbau Puang Japeng berubah menjadi Ongkos Naik Haji. Kepercayaan bahwa naik haji akan membuka rezeki keluarga serta menaikkan status seseorang memang kuat mengakar di Kampiri entah sejak kapan. Sepengetahuan saya, istri Puang Japeng itulah Haji pertama di Kampiri. Tahun-tahun berikutnya orang-orang berlomba ingin juga jadi seorang haji.