Kedatangan Jepang di Indonesia Pada tahun 1936, Sutarjo
Kartohadikusumo, ketua Persatuan Pegawai Bestuur (Pamong Praja) Bumi Putera,
mengajukan surat permohonan kepada pemerintah Hindia Belanda yang dikenal
dengan Petisi Sutarjo. Isi petisi tersebut ialah meminta diadakannya konferensi
antara wakil-wakil Indonesia dan Belanda untuk menyusun rencana pemerintahan
sendiri bagi bangsa Indonesia meskipun masih dalam lingkungan kekuasaan
Belanda. Pelaksanaan pemerintahan dijalankan dalam waktu 10 tahun atau sesuai
dengan hasil konferensi. Pada tahun berikutnya, Gabungan Politik Indonesia
(GAPI) merumuskan usulan dalam slogan Indonesia Berparlemen. Kedua usulan
tersebut ternyata ditolak oleh pemerintah Belanda.
Bulan Agustus 1940, dalam Perang Dunia II, sebagian wilayah
negara Belanda sudah dikuasai Jerman. Sebagai jajahan Belanda, Indonesia dinyatakan
berada dalam keadaan perang. Saat itulah GAPI kembali mengeluarkan resolusi
yang menuntut diadakannya perubahan ketatanegaraan di Indonesia menggunakan
hukum tata negara dalam masa genting (Nood Staatsrecht). Isi resolusi tersebut
adalah mengubah Volksraad menjadi parlemen sejati yang anggotanya dipilih dari
rakyat dan mengubah fungsi kepala-kepala departemen menjadi menteri-menteri
yang bertanggung jawab kepada parlemen. Resolusi tersebut dikirimkan kepada
Gubernur Jenderal, Ratu Wilhelmina, dan Kabinet Belanda yang pada saat itu
berada di London.
Setelah melalui perjuangan yang sangat gigih, akhirnya
pemerintah kolonial Belanda berjanji akan membentuk komisi yang bertugas
mengumpulkan bahan-bahan tentang perubahan ketatanegaraan yang diinginkan oleh
bangsa Indonesia. Pada tanggal 14 September 1940 dibentuk Commissie tot
Berstudeering van Staatsrechtelijke Hervormingen (Komisi untuk Menyelidiki dan
Mempelajari Perubahan-Perubahan Ketatanegaraan). Komisi ini dikenal dengan nama
Komisi Visman, diketuai oleh Dr. F.H. Visman. Pembentukan komisi ini tidak mendapat
sambutan dari anggota-anggota Volksraad, bahkan anggota GAPI terang-terangan menyatakan
tidak setuju. Ketidaksetujuan di kalangan kaum pergerakan disebabkan
berdasarkan pengalaman, komisi-komisi yang dibentuk Belanda (contohnya, komisi
sejenis pada tahun 1918) tidak akan membawa hasil yang menguntungkan bagi Indonesia.
Pada saat yang bersamaan, Jepang telah menduduki wilayah
beberapa negara di Asia Tenggara. Kedudukan Belanda di Indonesia pun terancam.
Dengan kampanye 3A, kedudukan Jepang di Asia makin kuat. Sementara itu,
tindakan pemerintah kolonial Belanda yang keras kepala semakin meyakinkan kaum
pergerakan nasional bahwa selama Belanda berkuasa, bangsa Indonesia tidak akan
pernah memperoleh kemerdekaannya. Akibatnya, kampanye Jepang yang
mengumandangkan kemerdekaan bangsa-bangsa Asia mendapat simpati yang besar dari
rakyat Indonesia.
Dalam rangka menguasai Indonesia, Jepang menyerang
markas-markas Belanda di Tarakan, Sumatra, dan Jawa. Pada tanggal 8 Maret 1942,
Panglima Angkatan Perang Hindia Belanda Letnan Jenderal H. Ter Poorten, atas
nama Angkatan Perang Sekutu di Indonesia, menyerah tanpa syarat kepada pimpinan
tentara Jepang, Letnan Jenderal Hitoshi Imamura. Penyerahan tanpa syarat
tersebut ditandai dengan persetujuan Kalijati yang diadakan di Subang, Jawa
Barat. Isi persetujuan tersebut adalah penyerahan hak atas tanah jajahan Belanda
di Indonesia kepada pemerintahan pendudukan Jepang. Artinya, bangsa Indonesia memasuki
periode penjajahan yang baru.
Meski kedatangannya, seperti juga Belanda, adalah untuk
tujuan menjajah, Jepang diterima dan disambut lebih baik oleh bangsa Indonesia.
Berikut alasan yang melatarbelakangi perbedaan sikap tersebut.
- Jepang menyatakan bahwa kedatangannya di Indonesia tidak untuk menjajah, bahkan bermaksud untuk membebaskan rakyat Indonesia dari belenggu penjajahan Belanda.
- Jepang melakukan propaganda melalui Gerakan 3A (Jepang cahaya Asia, Jepang pelindung Asia, dan Jepang pemimpin Asia).
- Jepang mengaku sebagai saudara tua bangsa Indonesia yang datang dengan maksud hendak membebaskan rakyat Indonesia.
- Adanya semboyan Hakoo Ichiu, yakni dunia dalam satu keluarga dan Jepang adalah pemimpin keluarga tersebut yang berusaha menciptakan kemakmuran bersama.
Pemimpin-pemimpin pergerakan pun mau bekerja sama dengan
Jepang. Contohnya, Moh. Hatta dan Ir. Soekarno. Meski keduanya terkenal sebagai
tokoh nonkooperatif yang gigih, namun mau bekerja sama dengan Jepang.
Pertimbangannya, seperti diungkapkan dalam biografi Soekarno yang ditulis Cindi
Adams, adalah bahwa saat itu Jepang sedang dalam keadaan kuat, sedangkan
Indonesia sedang dalam keadaan lemah. Untuk itu, Indonesia membutuhkan bantuan
Jepang agar dapat mencapai cita-cita.[ki]